“Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan
oleh peradaban Islam,” kata sejarawan Amerika Serikat, Will Durrant, dalam
bukunya The Story of Civilization I V: The Age of Faith.
Kata “kimia” atau “chemistry” dalam Bahasa Inggris
bahkan merujuk pada Bahasa Arab, al-kimia.
Namun muslim pertama yang meraih penghargaan Nobel
Kimia baru muncul pada tahun 1999. Dia adalah Dr. Ahmad Zewail (67 tahun),
ilmuwan Mesir lulusan Universitas Alexandria mesir yang meraih gelar doktornya
di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat.
Kimia adalah hidup Zewail. Sejak kecil ia sudah jatuh
cinta pada kimia. Orangtuanya bahkan berharap Zewail menjadi profesor. Zewail
kerap menghabiskan waktu berhari-hari untuk melakukan beragam penelitian
kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuan orangtuanya, di kamar tidur dia merakit
peralatan kecil dari kompor milik ibunya dan beberapa tabung gas untuk mengamati
bagaimana kayu bisa diubah menjadi asap dan cairan.
Di mata Zewail, kimia amat mempesona. Sampai remaja
dan menginjak bangku SMA pun, kegiatan Zewail sehari-hari tak pernah lepas dari
berbagai percobaan kimia. Ini pula yang membuat dia menempuh studi di Jurusan
Kimia Fakultas Sains Universitas Alexandria. Keseriusan mempelajari kimia
mengantarkannya lulus dengan predikat cum laude. Ia langsung diangkat sebagai
asisten dosen di kampusnya begitu lulus.
Kecemerlangan Zewail berlanjut. Ia memperoleh
beasiswa untuk menempuh program doctoral di Universitas Pennsylvania AS. Meski
awalnya mengalami kendala bahasa, otak brilian Zewail tak terbantahkan. Hanya
dalam waktu delapan bulan, dia telah menyelesaikan disertasinya yang membahas
tentang interaksi molekul dengan cahaya.
Setelah sempat bekerja sebagai peneliti di
Universitas Berkeley California, Zewail akhirnya memutuskan menjadi dosen di
California Institute of Technology. Di sini dia meneliti keadaan transisi pada
reaksi kimia, yakni waktu yang harus dilalui atom atau molekul (gabungan atom) saat
bereaksi.
Keadaan transisi pada reaksi kimia ini terjadi dalam
rentang waktu femtodetik (0,000000000000001 detik atau 10-15 detik). Sebagai
gambaran, 1 femtodetik setara
dengan 1 detik dibagi 32 juta tahun. Penelitian
Zewail pun melahirkan cabang baru dalam kimia yang disebut femtokimia, ilmu
yang mempelajari reaksi kimia pada skala waktu luar biasa pendek, kurang dari
sekedipan mata.
Perceraian
Semula penelitian Zewail tak berjalan mulus. Ia harus
menghabiskan bergelas-gelas kopi dan terus berada dalam laboratorium sampai
dini hari. Ini harus dibayar mahal. Zewail kehilangan kehidupan rumah
tangganya. Hubungan dengan istrinya semakin tidak harmonis dan berujung pada
perceraian.
Namun masalah keluarga ini tak membuat penelitian
Zewail goyah. Ia terus fokus sampai akhirnya pada penghujung 1980-an berhasil
mengamati keadaan transisi pada reaksi kimia garam natrium iodida. Keberhasilan ini berkat alat baru
ciptaan Zewail, yakni spektotrofotometer yang sumber cahayanya berasal dari
laser berdurasi femtodetik. Alat ini semacam kamera laser ultrapendek yang
bekerja dengan memadukan dua berkas sinar yang dihasilkan molekul-molekul dalam
sebuah ruang vakum.
Zewail kemudian menggunakan alatnya itu untuk
meneliti reaksi-reaksi kimia lain pada cairan, padatan, gas, sampai reaksi
kimia hayati pada makhluk hidup. Bila sebelum femtokimia berkembang, ilmuwan
hanya menyusun teori tentang bagaimana atom-atom bertemu dan bergabung, kini
kamera laser hasil penemuan Zewail memungkinkan peneliti untuk mengamati beragam
reaksi kimia dalam gerak lambat.
Berbagai penelitian Zewail tersebut dipuji sebagai
terobosan penting oleh komunitas ilmiah. Ini pula yang akhirnya membuat dia
dianugerahi Nobel Kimia pada tahun 1999. Kisah bahagia Zewail berlanjut di luar
laboratorium ketika ia bertemu Dema, doktor wanita ahli obat-obatan di
Universitas California Los Angeles (UCLA) yang kemudian menjadi istri keduanya.
Zewail yang memiliki kewarganegaraan ganda, Mesir dan
Amerika Serikat, kini menetap di San Marino, California, AS bersama istri dan
anak-anaknya. Seperti yang diimpikan orangtuanya semasa dia kecil, Zewail
memegang dua jabatan profesor sekaligus di California Institute of Technology,
yaitu Profesor Kimia dan Profesor Fisika.
Sebelum Zewail, ada satu ilmuwan muslim lain yang
pernah meraih Nobel, yakni Mohammad Abdus Salam, fisikawan kelahiran Pakistan
yang menempuh pendidikan di Universitas Punjab dan Universitas Cambridge. Namun
berbeda dengan Zewail yang meraih Nobel Kimia, Abdus Salam yang anggota
Komunitas Muslim Ahmadiyah itu meraih Nobel Fisika. (dari berbagai sumber)
0 komentar:
Post a Comment