Memoar Sang Sahabat
Oleh: Yusri Kombih
Untuk seluruh sahabat-sahabatku.
Untuk seluruh orang yang memiliki
sahabat.
Dan untuk seluruh orang yang merindu
persahabatan sejati.
Young Enterpreneur Success... is Me!
Cuaca di luar sangat panas. Membakar. Mengingatkanku pada ceramah Ustadz Qohar ketika aku sedang beri’tikaf pada Ramadhan tahun lalu. Kata beliau di padang mahsyar kelak jarak matahari hanya satu jengkal di atas kepala manusia. Aku jadi ngeri membayangkan hal itu. Panas di sini saja aku sudah tidak tahan gerahnya, padahal jarak mataharinya belum sejengkal laiknya di padang mahsyar. Dan... bukan hanya panas, udara di luar sana juga menyesakkan saluran pernapasanku. Udaranya tidak sesegar di Kota asalku, Subulussalam, Aceh. Tapi udara di sini malah bau busuk. Polusi di mana-mana. Kemacetan menyesakkan jalanan. Beginilah kota Jakarta, semua orang sudah mafhum.
Cuaca di luar sangat panas. Membakar. Mengingatkanku pada ceramah Ustadz Qohar ketika aku sedang beri’tikaf pada Ramadhan tahun lalu. Kata beliau di padang mahsyar kelak jarak matahari hanya satu jengkal di atas kepala manusia. Aku jadi ngeri membayangkan hal itu. Panas di sini saja aku sudah tidak tahan gerahnya, padahal jarak mataharinya belum sejengkal laiknya di padang mahsyar. Dan... bukan hanya panas, udara di luar sana juga menyesakkan saluran pernapasanku. Udaranya tidak sesegar di Kota asalku, Subulussalam, Aceh. Tapi udara di sini malah bau busuk. Polusi di mana-mana. Kemacetan menyesakkan jalanan. Beginilah kota Jakarta, semua orang sudah mafhum.
Tapi setidaknya aku merasa cukup nyaman di kamar hotel berbintang lima ini. Aku hanya menatapi kepanasan, polusi, dan kemacetan di luar sana lewat kaca jendela kamar hotel tempatku sedang menginap. Kamar hotel yang cukup Comfort and Luxurious bagiku. Interior kamar yang indah, springbed yang empuk, fasilitas kamar yang cukup, pelayanan hotel yang memuaskan, dan tentunya dengan pengatur suhu ruangan AC yang mampu menyulap udara yang sangat panas di luar sana menjadi terasa sangat segar dalam ruangan
ini.
Saat ini, aku sedang menjalani pendidikan non-formalku di Bandung. Tepatnya di Young Enterpreneur Academy dan hampir rampung. Aku berambisi ingin menjadi seorang enterpreneur muda yang handal. Tak sedikit pun aku berminat menjadi PNS seperti yang banyak dikejar-kejar orang sampai mati-matian.
“Menjadi PNS itu aman, setiap bulan gajian, belum lagi dapat tunjangan, ada dana pensiunnya lagi...” begitulah alasan mereka yang berambisi menjadi PNS. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli meski harus keluar dari zona aman, pasti dengan keluar dari zona aman, hidupku akan labih bermakna dan berasa. Aku teringat dengan hadits Rasulullah, ‘bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perniagaan, enterpreneurship. Dan Rasulullah sendiri juga seorang enterpreneur yang handal. Bukankah Rasulullah adalah teladan terbaik, uswah hasanah? Jadi kupikir, langkah yang kupilih untuk berlari mengejar impian sebagai Enterpreneur yang sukses tidaklah keliru. Tapi sangat benar. Aku yakin itu.
Aku merasa geli ketika mengingat salah seorang guruku berkomentar,
“Sudahlah... kamu cari yang pasti-pasti
saja, tidak usah muluk-muluk. Jadi PNS, misalnya. Kalau kamu nanti menjadi
pengusaha, mau cari kerja apa?”
“Saya tidak akan mencari pekerjaan, tapi
saya akan menciptakan pekerjaan.” Jawabku. Guru itu hanya geleng-geleng kepala,
menganggap jawabanku ngawur dan nyeleneh.
Mendengar perkataan itu aku hanya bisa tertawa dalam hati. Aku berpikir, kok masih ada ya guru sekarang yang berusaha mematahkan dan membatasi cita-cita anak didiknya? Bukan kah seharusnya mereka mendukung, mensupport, dan memberikan semangat dan doa? Bagi mereka yang memiliki tekad yang rapuh pasti sudah patah tekadnya jika dikatakan seperti itu. Tapi aku yakin dan percaya, bahwa guru itu sebenarnya tidak ingin mematahkan semangatku. Melainkan karena ia khawatir dan sayang kepadaku.
Karena itu, apa yang guru itu katakan, tidaklah membuatku lemah dan bergeming dari tekadku sedikit pun. Malah memberiku motivasi. Bagiku seakan guru itu berkata, “Nak... tunjukkanlah kepada saya, bahwa kamu memang benar-benar mampu menggapai cita-citamu itu. Doaku selalu menyertaimu.” Karena aku berpikir, mana ada seorang guru yang tidak mendukung anak didiknya untuk maju.
Teman-temanku yang tidak mengerti tentang dunia enterpreneur juga sering bertanya, “Memangnya nanti kamu kerja apa?” Bahagia sekali rasanya, karena guru-guru dan teman-temanku ternyata perhatian padaku.
“Aku ga akan kerja. Enggak kerja
tapi kaya. Aku akan jadi enterpreneur kaya yang beriman. Dengan begitu aku bisa
bersedekah yang banyak, membantu kaum dhuafa, menyantuni anak yatim, membantu
pembangunan panti-panti, pesantren dan pembangunan masjid, dan bersedekah demi
kemaslahatan umum. Kalau kekayaan itu berada di tangan orang-orang yang
beriman, dahsyat men...” jawabku santai.
Mereka tertawa, antara mengrti dan tidak mengerti. Memang orang-orang dengan ambisi minoritas sepertiku jarang yang mengerti.
yusrikombih@gmail.com
http://yusrikombih.blogspot.com/
http://www.irhamanshar.com/
http://yoyonpujiono.blogspot.com/
Menanti Sahabat Lama
Sudah lima hari ini aku berada di
Jakarta. Aku mengikuti acara Wirausaha Muda Mandiri Expo dengan tema
‘Kemandirian untuk Negeri’ yang di adakan di gedung Jakarta Convention Center
di jalan Sudirman, Jakarta.
Menginjak kota Jakarta, aku teringat dengan salah seorang sahabatku yang sedang menjalani studinya di kota Metropolitan ini, namanya Yusri. Ia adalah salah seorang sahabatku di Smansa Kota Subulussalam dulu. Sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku jadi ingin menghubunginya.
Kuraih BB[i]-ku,
lalu kukirim massage padanya.
“Asslam...
Boy, apa kbr?”
Ada balasan.
“Wlkumussalam...
Baik. Ente gmn?”
“Alhmdulillah baik jg.
Boy, saya lg di JCC[ii] nich...
Jakarta.”
“Ada acr apa d sana?”
“Wirausaha Mandiri Expo.
Oya, mumpumg saya lg di Jkt,
knp kt ga ktmuan aj?”
“Waduh... sbnrnya pngen bgt boy.
Tp hr ini ane mau naqrir hafalan.
Lusa ane ada ujian marhalah Tahfizh.
Oya, gmn klo ente dtg aja ke tmpt ane
lusa?”
“Ga bs boy... minggu dpn saya mau plg ke
aceh.
Hr ini dah mau blek ke Bandung.”
“Blek ke Bdg jam brp?”
“Kurang tau...”
“Ywd, skrg kt ktmuan di mana?”
“di stadion GBK[iii] aja,
deket ko’ dr JCC”
“OK. Ane ke sana skrg...”
“OK. Kutunggu...”
Lalu
aku bergegas menuju GBK. Menanti sahabatku.
Aku masih di stadion GBK, menunggu sahabat yang sudah lama tak bertemu. Menanti sahabat yang sudah tak lama bersua...
Aku masih di stadion GBK, menunggu sahabat yang sudah lama tak bertemu. Menanti sahabat yang sudah tak lama bersua...
Sejatinya Sahabat
Setiap orang pasti memiliki sahabat.
Namun untuk mencari sahabat sejati tidaklah mudah. Sahabat sejati yang
senantiasa bersedia membantu sahabatnya. Yang senantiasa bersedia berkorban
demi sahabatnya, apakah itu berkorban tenaga, fikiran, uang, harta, bahkan
berkorban nyawa sekalipun. Betapa aku merindukan sahabat yang seperti itu.
Seperti Rasulallah yang memilki sahabat Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan sahabat-sahabat lainnya.
“Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian, hingga ia mencintai saudarnya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”[iv] Begitulah hadits nabi yang pernah kubaca. Malah dalam hadits lain dikatakan, “... hingga ia lebih mencintai saudarnya melebihi dirinya sendiri.” Jika di pikir secara sepintas mungkin kita akan berkata, “Mana mungkin kita mencintai orang lain seperti kita mencintai diri kita sendiri, apalagi kalau sampai mencintai di atas cinta kita kepada diri sendiri? Impossible!”
Namun begitulah Islam mengajarkan. Islam yang penuh dengan kasih sayang dan cinta. Jadi sungguh tidak masuk akal jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris, yang menyukai kekerasan dan pertumpahan darah. Itu salah besar. Islam adalah agama kasih sayang. Islam adalah agama cinta.
Mencari sahabat memang sulit pada saat sekarang. Namun, meski sangat sulit bukanlah berarti mustahil. Aku percaya, pasti masih banyak manusia yang memiliki jiwa persahabatan dan persaudaraan sejati. Sahabat yang rela berbuat dan berkorban apa saja demi kepentingan sahabatnya. Bukan seperti sahabat kebanyakan pada saat sekarang ini. Hanya menjadi sahabat dalam kesenangan namun ia pergi saat dalam kesusahan.
Menjadi sahabat saat butuh namun mencampakkan sahabatnya saat tak butuh lagi.
Seorang sahabat mestinya tetap setia
dalam susah maupun senang, dalam suka maupun duka. Ternyata kesetiaan bukan
hanya dibutuhkan dalam percintaan saja, tetapi juga sangat dibutuhkan dalam
persahabtan. Sebab, dalam persahabatan juga mesti ada cinta. Cinta antara
seorang sahabat terhadap sahabatnya.
Apalah artinya cinta tanpa kesetiaan? Cinta yang indah akan suram, cinta yang putih akan hitam, cinta yang suci akan busuk, cinta yang mulia akan hina, cinta melahirkan kebahagiaan hanya akan melahirkan nestapa dan kesengsaraan, begitulah cinta jika tanpa kesetiaan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, begitulah persahabatan dan persaudaraan. Bagi mereka yang tak memiliki kesetiaan, tak seharusnya memiliki persahabatan maupun percintaan di dunia ini. Mereka sebaiknya mati saja, karena hanya akan melahirkan bencana.
Mengingatkanku pada kisah kematian Ikrimah bin Abu Jahal. Ia adalah anak Abu Jahal yang pernah memerangi nabi pada tahun ke-22 Hijriah. Ia kemudian masuk Islam dan memperkuat barisan perang kaum muslimin, hingga akhirnya meninggal dalam kesyahidan. Dan ini pun ternyata karena ia lebih mengutamakan saudaranya ketimbang dirinya sendiri.
Waktu itu ia terluka dan dikumpulkan di tempat orang-orang yang terluka yang letaknya tidak jauh dari
medan perang. Perang Yarmuk yang pada waktu itu tengah berkecamuk dengan dahsyatnya. Dan di samping Ikrimah juga ada sepuluh pasukan lainnya yang terluka dan kehausan yang sangat, yang hampir-hampir mereggut nyawa. Mereka sudah di ambang pintu maut karena kehausan. Tiba-tiba anak paman Ikrimah berlari mendatanginya dan memberinya minum.
“Minumlah wahai Ikrimah.” Kata anak pamannya.
“Baiklah...” terima Ikrimah.
Ketika akan meneguk air minum itu,
tiba-tiba...
“Aduuuh...” ia mendengar rintihan
kehausan dari orang sebelahnya.
“Demi Alllah, aku tidak akan meminumnya
sebelum saudarku terlebih dahulu meminumnya.” Kata Ikrimah yang urung meneguk
air minum itu.
Air minum itu pun akhirnya diberikan kepada orang yang merintih tadi. Ketika orang itu hendak meneguk air minum itu, ia mendengar suara rintihan tanda kehausan. Orang itu pun memberikan air minum itu kepada orang yang merintih kehausan itu. Kejadian itu terus berlanjut hingga air minum itu sampai kepada orang yang kesepuluh. Ketika air minum itu sampai kepada orang yang kesepuluh, ia berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan meminumnya hingga Ikrimah terlebih dahulu yang meminumnya.”
Akhirnya air itu pun kembali diserahkan
kepada Ikrimah. Tapi sayangnya terlambat, Ikrimah telah syahid terlebih dahulu.
Masyaallah, Mahasuci Allah. Begitu terharu dan bercampur malunya aku jika mengingat cerita itu. Jika pada zaman Rasulullah dan sahabat, kita memang tidak jarang mendengar kisah-kisah yang serupa. Tapi jika kita lihat pada zaman sekarang, kisah seperti itu sudah langka. Apalagi kalau kita lihat di negeri kita ini, sangat langka. Berapa banyak kita lihat orang-orang yang menderita kekurangan gizi, busung lapar, mati kelaparan. Berapa banyak pula kita lihat anak-anak terlantar jadi gembel, pengemis, pemulung, dan tidak mendapat kesempatan mengecap manisnya dunia pendidikan sedikit pun. Miris. Tak terasa cairan lembut dan bening mengalir dari sudut mataku. Jika sudah mengingat hal-hal yang menyentuh hati, ternyata laki-laki sepertiku juga bisa terharu.
“Kemanakah orang-orang kaya itu? Apa mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di dalam harta mereka ada hak-hak kaum dhuafa? Kemanakah pemimpin-pemimpin yang berkuasa yang seharusnya bertanggung jawab itu? Apa mereka sudah buta atau pura-pura buta hingga tidak melihat menyedihkannya keadaan negeri ini? Ah... bagaimana mengharapkan para pemimpin itu untuk mengentaskan kemiskinan, jika megatasi masalah korupsi yang kian meraja lela saja mereka tak sanggup. Kemanakah orang-orang yang masih memiliki hati? Atau jangan-jangan sudah tidak ada lagi yang memiliki hati? Apa mereka hanya memikirkan perut mereka sendiri?” Aku berteriak marah dan kesal dalam hatiku. Namun entah pada siapa aku berteriak.
Sejenak terbersit di benakku perkataan Umar bin Khattab. “Jika ada seribu orang yang berbuat kebaikan, maka aku adalah salah satunya. Jika ada seratus orang yang berbuat kebaikan, maka aku adalah salah satunya. Jika ada sepuluh orang yang berbuat kebaikan, maka aku adalah salah satunya. Jika hanya satu orang yang berbuat kebaikan, maka akulah yang satu itu.”
Aku pun ingin berkata seperti Umar bin Khattab, “Jika sudah tidak ‘ada’ lagi orang yang punya hati di negeri ini, maka aku akan meng’ada’kannya. Akulah orang itu. Aku harus menjadi kaya, dan bisa memberikan manfa’at sebanyak-banyaknya kepada orang yang membutuhkan.” Azzamku dalam hati. Aku semakin mantap melangkah menuju impian menjadi seorang enterpreneur sukses. Karena Allah Rabb semesta alam.
Aku dan Sahabat
Buka puasa bareng di akhir masa sekolah |
Hadir dalam syukuran guru Fisika kami |
Kembali kepada masalah sahabat. Aku juga memiliki sahabat. Namun entahlah... apakah sahabat yang kumiliki saat ini adalah benar-benar sahabat atau bukan. Namun sejauh ini, aku sangat bahagia memiliki sahabat seperti mereka. Sudah banyak masa yang kami lalui bersama, waktu-waktu yang kami lewati, kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, kenangan-kenangan yang kami lukiskan bersama-bersama. Dalam suka maupun duka, dalam tawa maupun air mata. Dan aku berharap, semoga persahabatan kami mampu meneladani persahabatan Rasulullah dan para sahabatnya. Meski tak mungkin secara sempurna, namun paling tidak berusaha meneladani mereka. Harapan yang tak mudah untuk dimiliki oleh semua orang. Memiliki sahabat-sahabat yang saling mencintai karena Allah.
Dari ‘4 Kurcaci’ sampai ‘ALIM’
Irham Anshar, itulah nama lengkapku. Ada yang memanggilku ‘Irham’, ada yang memanggilku ‘Anshar’. Adapula yang memanggilku ‘Ham’ atau ‘Shor’. Panggilan yang singkat, padat, jelas, mudah, berisi, dan pastinya Instant.
Manusia sekarang memang lebih cenderung kepada yang instant-instat. Hampir sampai kepada seluruh urusan kehidupan manusia jadi serba di-instant-instant-kan. Mengenai ‘instant’ ini ada yang bagus ada pula yang tidak bagus. Kalau instant dalam hal tertentu yang mendatangkan kebaikan tidak masalah. Tapi kalau sudah instant dalam segala hal alias ‘serba instant’ ini yang menjadimasalah. Dan inilah yang paling disukai banyak manusia sekarang. Mengapa kukatakan manusia sekarang lebih menyukai hal yang ‘serba instant’? Nanti akan kuceritakan alasannya.
Sahabatku, Yusri. Kelas IPA3, di kelas itulah pertama kali
aku mengenal Yusri. Aku duduk di kursi samping Yusri,
lebih mudah kerena ada tempat kalau sedang butuh contekan. Sampai aku pernah
mendapat peringkat ke-3 besar di kelas itu, namun bukan berarti bahwa
peringkat ke-3 yang pernah kudapatkan itu karena hasil contekan.
Kebetulan saja kejadiannya seperti itu. Meski terakhir-terakhir peringkat itu
tak kudapatkan lagi. Tapi bagiku itu tidak masalah, sebab aku memang tidak pernah
mengharap untuk mendapatkan peringkat. Dan yang kuharapkan hanya ilmu,
ilmu, dan ilmu.
Di kelas IPA3. Kami adalah penguasa di kelas itu. Yusri sebagai ketua kelas dan aku wakilnya. KamilahPresiden dan Wakil Presiden di Republik IPA3. Sebenarnya kami baik-baik saja dalam memimpin kelas. Namun banyak rakyat IPA3 yang merasa kami berlaku sewenang-wenang. Seakan menganggap kami seperti Lenin–penagnut setia Karl Marx yang mesti bertanggung jawab atas berdirinya komunis di Rusia—atau seperti Stalin–sang diktator proletariat Uni Soviet—yang tidak berprikemanusiaan menumpahkan darah manusia yang tak terhitung jumlahnya, atau mungkin menganggap kami sekejam Zeonis Israel yang membombardir Palestina secara membabi-buta, memakan korban-korban tak berdosa. Na’udzubillah.
Kami sebagai pemimpin kelas tidaklah kejam seperti yang mereka rasakan. Malah sebaliknya kami berlaku baik-baik saja. Hanya saja mungkin mereka belum bisa melihat kebaikan itu. Kami tidak menganiaya mereka secara fisik maopun non-fisik. Tapi, kalau ada yang ‘merasa’ teraniaya, mungkin saja. Pasalnya, terkadang ada teman-teman di kelas yang berkomentar, “Ah... guru itu, cuma Irham sama Yusri aja yang diliatin kalo lagi menjelaskan pelajaran. Kalo bertanya juga, cuma pertanyaan orang itu aja yang ditanggapin. Lha... kami ga dianggap.” Atau komentar lain, “Ah... kalau Irham sama Yusri telat masuk, ga siap PR, pasti ga diapa-apain. Tapi kalau kami, langsung dimarahin abis-abisan.” Sedih memang komentarnya, ya... begitulah. Setelah mengenal dan akrab dengan Yusri, akhirnya aku pun akrab dengan kedua sahabatnya, Reza dan Yoyon.
Reza, atau lengkapnya Reza Firandi
adalah yang paling tampan di antara kami semua. Itulah penilaian orang-orang.
Tapi tentu saja ketampanan seseorang itu relatif, seperti kecantikan yang juga
relatif. Bukan hanya paling tampan, tapi dia juga sahabat kami yang paling
langka. Dia mengidap penyakit yang aneh. Dia mengidap penyakit yang sebenarnya
sudah mafhum dikalangan umum, namun sangat langka di kalangan kami.
Dia menderita penyakit ‘ulat bulu’. Penyakit ulat bulu itu tumbuh dan menyerang
di bawah hidungnya, berwarna hitam dan lebat. Untungnya penyakit itu tidak
menular.Ah, bodoh, itu bukannya penyakit, tapi kumis yang terlalu subur.
Nah, Yoyon yang lengkapnya Yoyon Pujiono, dari namanya saja kita sudah bisa tahu, dari mana ia berasal. Tapat sekali, dia adalah wong jowo. Dia satu-satunya sahabat kami yang berasal dari suku Jawa, tepatnya dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dan dia adalah sahabat kami yang paling unik. Kalu siang namanya Yoyon, tapi ketika siang sudah berubah menjadi malam namanya pun berubah menjadi Yeyen. Entah itu serius atau hanya sekedar gurauan. Entah siapa pula yang membuat nama itu, namun sepertinya itu hanyalah gurauan saja.
Kami adalah empat sahabat. Hampir setiap hari kami lalui bersama. Sampai-sampai ada guru yang memberi kami julukan ‘4 Kurcaci’. Entah apa maksud julukan itu. Sepertinya julukan itu kurang tepat. Kalau menurutku julukan itu sebaiknya diganti dengan ‘4 Siswa Genius’, atau ‘4 Bintang Sekolah’, atau mungkin ‘4 Laki-Laki Tampan’. Tapi tidak masalah, mendapat julukan ‘4 Kurcaci’ juga kami senang. Meski tidak tahu apa makna di balik itu. Atau mungkin itu hanya sekedar julukan tanpa makna.
Bukan hanya itu. Ada juga guru yang memberi kami julukan ‘ALIM’. Kami tersenyum kegirangan dan tertawa bahagia saat pertama kali mendengar jululkan itu. Awalnya kami pikir julukan ALIM itu artinya ‘orang berilmu’, yang diambil dari kata bahasa Arab ‘Alima-Ya’lamu. Tapi jauh panggang dari api, ternyata bukan itu. Julukam ALIM itu adalah singkatan dari Anak LIar Malam.Ya... ANAK LIAR MALAM.
Tapi tidak masalah juga, kami tetap bangga mendapat julukan itu. Sebab, julukan itu memang benar adanya. Kami adalah anak liar malam yang kalau malam-malam suka liar. Namun tentu saja ‘liar’ dalam arti yang positif. Kami kerap berkeliaran di malam hari, entah itu untuk mengerjakan tugas bersama, MABIT (Malam Bina Iman dan Takwa), Liqa’at (pengajian), mengisi mading sampai lembur, atau hanya sekedar nongkrong bersama. Sampai-sampai kami sering tertidur alias tidur bareng di Masjid, Musholla, bahkan di Lab. Mungkin itulah sebabnya kami diberi julukan ALIM alias Anak Liar Malam.
OSIS,
ROHIS, Pramuka, sampai Olimpiade
Masa SMA adalah ‘masa yang paling menyenangkan’. Namun ‘masa yang paling menyenagkan’ itu masih dalam tanda kutip. Sebab, masa yang paling menyenangkan itu ada dua macam. Masa menyenangkan untuk hal yang positif dan ada pula yang untuk hal yang negatif.
Ada siswa yang menghabiskan masa SMA-nya untuk kesenangan pribadi dan kesengan yang sifatnya sementara. Seperti kesenangan berpacaran, kesenangan berbuat onar dan rutin berurusan dengan guru BP, kesenangan bolos, kesenangan bemain judi di lapangan olahraga, kesenangan menjadi ahli hisab yang kerjanya menghisab-hisab rokok, ini adalah kesenagan yang negatif.
Ada pula kesenangan-kesenangan lainnya, seperti kesenangan belajar, kesenangan berorganisasi dan melatih jiwa leadership, mengukir prestasi sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya, mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah yang bermanfa’at lainnya, dan inilah contoh kesenangan yang posotif.
Menurutku, semasa SMA kami sudah cukup memaknai kesenangan itu sebagai kesenangan yang positif, meski belum sepenuhnya. Hampir seluruh kegiatan sekolah yang positif kami ada di sana. Mulai dari OSIS, Rohis, Pramuka, Olimpiade Sains, Sispala, PMR, sampai Paduan Suara.
Di OSIS, kami semua aktif di sana. Di Rohis juga kami semuanya aktif, dan Yusri sendiri yang menjadi ketua Rohis waktu itu. Di Pramuka ada Reza, malah Reza sebagai Ketuanya. Yusri juga ‘ikut-ikutan’ di Pramuka. Kenapa dikatakan ‘ikut-ikutan’? Ya... karena dia hanya ikut kalau ada camping, di hari latihan dia tidak pernah hadir. Sementara aku dan Yoyon tidak ikut maupun ‘ikut-ikutan’ di sana.
Dan di Olimpiade Sains... nah, ada sedikit cerita sedih mengenai Olimpiade. Waktu itu kami semua ikut seleksi OSN tingkat Kota. Yoyon-Kimia, Reza-Matematika, Yusri-Astronomi, sedangkan aku-Komputer. Semua baik-baik saja dan semua semangat saat belajar dan ketika seleksi berlangsung. Namun saat pengumuman, ada senang dan ada sedihnya. Di antara kami berempat hanya Yoyon dan Yusri yang lolos ke OSN Propinsi. Sementara Reza dan aku, belum beruntung.
Yoyon juara 1 Kimia. Yusri juara 1 Astronomi. Sedangkan aku dan Reza, ya... seperti yang kukatakan tadi, belum beruntung. Namun aku sama sekali tidak sedih maupun menyesal dengan hal itu. Ketika melihat soal-soal seleksi itu saja aku sudah berkata pada diri sendiri, “Aku ga mungkin menang”. Bukannya aku tipikal orang yang mudah menyerah, apalagi menyerah sebelum bertempur. Tapi, bagaimana tidak? Soal-soal yang kuhadapi ketika tes itu jauh dari dugaanku. Aku memang mengerti Komputer, namun ternyata soal-soalnya seluruhnya mengenai Logika Matematika dan Matematika Pascal, jelas aku menyerah.
Sedangkan Reza, pasca kegagalannya dalam seleksi Olimpiade itu ia merasa sedih dan murung beberapa hari. Dan ia sedikit menjaga jarak dari kami. Namun sebenarnya yang paling membuatnya sedih bukanlah kegagalannya, melainkan ia tidak suka dibanding-bandingkan. Ketika ada yang bertanya, “Yoyon dan Yusri dapat juara 1, Reza ko’ enggak? Kenapa?”. Pertanyaan itulah yang sangat tidak suka ia dengar. Berbeda denganku yang hanya tertawa saja menerima kegagalan itu. Ketika Reza sedih kami sebagai sahabat hanya berusaha membesarkan hatinya. “Sudahlah, di balik semua ini pasti ada hikmahnya”. Dan benar, beberapa minggu kemudian ia terpilih sebagai Duta Wisata Aceh untuk mewakili Kota Subulussalam di Banda Aceh. Mahasuci Allah, Al-Hakim, Sang Pemilik Hikmah di balik setiap kejadian.
Komputer,
Kimia, Matematika, Agama
Manusia adalah makhluk paling istimewa yang diciptakan oleh Allah. Dan salah satu dari keistimewaan itu yakni manusia diciptakan bersifat unik. Tak seorang manusia pun di dunia ini yang serupa dengan manusia lainnya, baik secara fisik maupu nonfisik. Memang ada manusia yang mirip namun sangat banyak perbedaannya. Bahkan bayi kenbar sekali pun, tetap saja berbeda. Kembar tapi beda.
Begitu pun aku dan sahabat-sahabatku, kami semua berbeda-beda. Banyak perbedaan di antara kami. Yang pasti Allah telah menciptakan kami dengan sebaik-baik bentuk dan potongan. Apalagi jika dilihat dari segi keterampilan dan keahlian, sangat jauh berbeda.
Di antara
kami semua, akulah yang paling mengerti mengenai dunia komputer. Aku yang
mengenalkan kepada mereka siapa itu Steve Jobs sang pendiri Apple, dan siapa
itu Bill Gates sang pendiri Microsoft Corporation dan sempat menjadi manusia
terkaya di dunia. Aku pula lah yang mengajarkan mereka mengoperasikan komputer.
Aku pula yang paling mengerti masalah enterpreneuship di banding mereka. Aku
yang menginformasikan kepada mereka bahwa Rasulullah pun juga adalah sosok
enterpreneur yang handal.
Berbeda dengan Yoyon. Yoyon adalah sahabatku yang paling mengerti tentang sains. Mungkin kalau saja dia memiliki laboratorium pribadi atau kalaulah laboratorium sekolah pada masa itu memadai barangkali ia sudah menjadi Albert Einstein abad-21. Dua tahun berturut-turut ia menjadi juara oloimpiade kimia tingkat kota. Tapi belum beruntung hingga ke nasional atau internasional. Mutu pendidikan di Kota Subulussalam belum cukup baik di banding dengan mutu pendidikan di kota lain. Sama seperti mutu pendidikan di negara ini, yang belum cukup baik dibanding dengan negara lain.
Yoyon yang mengerti dunia sains, sangat berbeda denganku. Aku tidak begitu mengerti mengenai dunia sains. Pernah guru kimia bertanya kepadaku,
“Irham, apa pengertian Mol?
“Mall, bu?” tanayaku balik.
“Iya, Mol. Apa itu Mol” tegas guru kimia
itu.
Tanpa pikir panjang, langsung kujawab.
“Mall itu tempat belanja, bu...”
Semua teman-teman di kelas kontan
tertawa, lucu memang.
Berbeda pula dengan Reza. Dia paling ahli dalam urusan angka-angka alias matematika. Setap hari yang ia pelajari hanya buku-buku yang penuh dengan angka, angka, dan segala jenis hitungan yang rumit dan aneh. Itulah makanannya sehari-hari. Bagi kami, selain sahabat dia juga kalkulator berjalan. Ketika kami mengerjakan tugas yang berhubungan dengan angka rumit dan kami tidak membutuhkan kalkulator lagi, langsung saja kami tanyakan padanya. Dalam hitungan beberapa detik kami pasti sudah mendapatkan hasil yang tepat dan akurat. Sangat jarang meleset. Canggih euy!
Berbeda Yoyon dan Reza, berbeda pula denga Yusri. Tidak tahu pasti apa kelebihan sahabatku yang satu ini. Dia paling banyak hafal Qur’an dan hadits ketimbag kami. Dia lebih mengerti tentang leadership dan lebih ahli dalam public speaking. Dia yang paling sering memberi kami nasehat, meski terkadang dia tidak bisa memberi nasehat kepada dirinya sendiri. Dan satu lagi, di juga paling banyak makannya. Setiap kali ditawarkan makan jarang bahkan hampir tidak pernah menolak, apalagi kalau makan geratis. Nyam... nyam... Sikat.
Perpustakaan Umum Islam (PUI) Iman Jama, Jaksel 1-Februari-12
PR
jadi PS
Jika seluruh siswa cepat datang dan sejak pagi-pagi sekali sudah rapi berada di dalam kelas, itu artinya hari itu ada PR. Semuanya sibuk mengerjakan PR. PR yang harusnya dikerjakan di rumah, malah dikerjakan di sekolah. PR berubah menjadi PS. Kebiasaan buruk. Dan buruknya bukan hanya mengerjakan PR di sekolah, itu masih belum terlalu buruk. Yang buruknya lagi bukan ‘mengerjakan’ tapi ‘mencontek’. Menggunakan metode copas alias copy and paste. Inilah salah satu alasan mengapa saya mengatakan manusia sekarang lebih menyukai yang instant. Dan tidak tahu bahkan tidak mau tahu lagi mana instant yang baik dan mana instant yang buruk. Itulah kelasku dulu.
Hampir semua bahkan bisa dikatakan semua siswa di kelasku ikut bergabung dalam acara nyontek PR bareng. Bahkan Aku dan Yusri pun ikut. Kami biasanya mendapat contekan dari Haryati dan Furqan. Dua teman kelasku itu, merekalah yang paling tekun dan disiplin mengerjakan PR. Haryati adalah teman kelasku yang paling galak, saingan sama Anita Sederhana, setiap hari aku hampir-hampir dimakannya. Tapi di balik kegalakannya sebenarnya dia baik, bahkan saking baiknya rela memberikan contekan.
Dan Furqan, dia adalah teman kelasku yang paling penipu. Namanya saja sudah menipu banyak orang. Jika dilihat dari nama ‘Furqan’ orang yang belum mengenalnya pasti mengira dia adalah laki-laki, padahal dia seorang perempuan. Tapi, dia juga baik. Dan sebenarnya dia juga bukanlah penipu, dan sama sekali tidak pernah menipu dalam memberikan contekan. Yang menipu hanyalah nama dan berat badannya saja. Haha.
Toleransi di kelasku memang sangat tinggi, sampai-sampai dalam masalah PR pun rela saling berbagi dan tolong menolong. Solid. Berbagi dan tolong menolong memang sifat yang baik, tapi kalau dalah hal cotek mencontek PR tentu saja tidak baik. Semoga kelak kami menjadi manusia yang memiliki sifat toleransi dan rasa berbagi yang tinggi, bukan lagi dalam keburukan tapi kebaikan. Wata’aawanu ‘alal birri wattaqwaa, Wala ta’aawanu ‘alal itsmi wal ‘udwaan.[v] Tolong menolonglah dalan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kerusakan. Aamiin.
Bukan hanya ‘contek mencontek’ PR yang terjadi di kelasku. Tapi juga ‘tempah menempah’ makalah. Aku sebagai orang yang hobi dengan dunia enterpreneur, kujadikan saja ‘tempah menempah’ makalah ini sebagai ladang bisnis keci-kecilan. Setiap kali guru memberikan tugas makalah, langsung saja aku promosi begitu gurunya keluar.
“Perhatian temen-temen, hanya dengan memberikan judul makalah plus Rp. 20.000-, makalah temen-temen akan sudah selesai besok pagi... Ayo, siapa yang berminat...” Promosiku pada teman-teman. Hampir semua teman-teman berminat. Tapi memang uang dari hasil bisnis yang seperti itu kurang berkah. Dalam waktu sebentar saja, uangnya ludes. Mudah datang mudah pula hilangnya.
Sebenarnya kendala mereka enggan untuk mengerjakan makalah sepele saja. Ada yang hanya karena malas, ada yang alasannya karena tidak punya waktu padahal hanya karena ia tidak pandai mengatur waktu, ada pula yang alasannya karena ia tidak mengerti mengoperasikan komputer untuk mengerjakan makalah padahal ia bisa saja belajar jika ia mau. Lalu mereka mengambil jalan pintas dengan membayar dengan sejumlah uang, urusan pun selesai. Lagi-lagi inilah alasan saya mengatakan bahwa manusia sekarang lebih menyukai hal-hal yang instant. Tanpa peduli baik maupun buruk.
Rusunawa PTIQ Jakarta, 2 Februari 12
Ada apa dengan Cinta?
[???]
Berdoalah... Allah Mahamendengar
Mengisi mading adalah salah satu kegiatan kami. Kami yang mengisi dan kami pula yang membacanya. Mading hanya seperti mainan kami sendiri. Sangat kurang minat membaca, apa lagi minat menulis. Membaca dan menulis memang dua hal yang salig berkaitan. Jika minat membaca kurang, secara otomatis minat menulis pun demikian. Siswa-siswa di sekolah kami memang sangat kurang minatnya dalah hal menulis dan membaca. Mungkin sebenarnya bukannya bukannya kurang atau tidak adanya minat, namun karena kebanyakan siswa belum menyadari betapa nikmatnya membaca dan menulis. Sehingga minat itu terkubur dan tidak tereksplorasi.
Jika melihat fakta yang ada, sebenarnya di seluruh negeri ini memang begitu. Sangat kurang budaya membaca dan menulis. Meski ada itu hanyalah segelintir orang. Sangat kontras perbedaannya jika dibandingkan dengan negara-negara maju di luar sana. Jika di luar sana penumpang kendaraan umum, bus, dan pesawat terbang selalu membaca dan menulis, sebaliknya dengan penumpang di negeri ini yang hanya tidur; Jika di luar sana para pensiun menghabiskan masa pensiunnya dengan menbaca, sebaliknya para pensiun di negeri ini pada pensiun hanya menghabiskan waktu di warung-warung kopi sambil bercerita tentang kebobrokan negeri ini; Jika di luar sana perpustakaan selalu dibuka hingga malam hari, sebaliknya di negeri ini yang dibuka dan diramaikan pada malam hari hanya tempat nongkrong dan hiburan-hiburan; Jika di luar sana membaca adalah hal yang lazim, sementara di negeri ini menjadi hal yang aneh. Orang yang sering membaca akan dipanggil dengan sebutan ‘kutu buku’ dengan nada merendahkan. Memang tidak selamanya seperti itu, namun itu kerap terjadi.
Malam itu mgharib telah berlalu, ‘Isya telah menjelang. Kami masih berada di sekolah. Mengisi mading sampai lembur. Mulai dari memnuat desain background sampai membuat semua rubrik mading yang akan diterbitkan. Lelah namun menyenangkan. Hingga adzan ‘Isya berkumandang, akhirnya mading selesai juga. Kami bergegas menuju musholla, memenuhi panggilan-Nya.
Usai shalat. Zikir sebagaima biasanya.
“Ham, Za, Yon.” Panggil Yusri pada kami bertiga.
“Kalian ingat ga, Ayat Allah yang mengatakan, ‘Mohonlah kepada-Ku niscaya akan aku kabulkan bagimu permohonanmu?’”[vi] Tambahnya sambil bertanya.
“Ingat....” Jawab Reza. Aku dan Yoyon ikut mengangguk.
“Nah... itu artinya apa pun yang kita minta kepada Allah pasti akan di dengar dan diijabah oleh-Nya. Dan salah satu waktu yang tepat untuk diijabahnya doa adalah selepas shalat fardhu. Inilah waktunya.”
“Terus...?” Cecar Reza.
“Hmm... bagaimana kalau sekarang kita berdoa bersama, untuk hajat bersama, dan meng-amini bersama. Semoga saja Allah mengabulkan.”
“Boleh....” Kami semua ikut saja dengan saran Yusri.
“Terus, siapa yang memimpim doa?” Tanya Yoyon.
“Kau aja.” Tunjuk Reza.
“Ah... ga tau aku.” Tolak Yoyon.
“Anshar aja.” Tunjuk Yoyon padaku.
“Ialah, Anshar aja.” Tambah Yusri.
“Oke. Ayo kita mulai.” Jawabku santai.
Sejenak semua terdiam. Suasana sepi mulai mencekam, suasana khusuk mulai tercipta. Kuperhatikan mereka bertiga menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Aku masih terdiam. Sejujurnya aku bingung mesti berdoa apa.
“Ayo... cepatlah!” Sergah Reza yang mulai tidak sabar.
“Iya... Iya... iya....” Jawabku. Aku mulai sadar, akulah kapten mereka saat ini. Mereka seperti perajurit yang sedang menunggu aba-abaku. Seperti makmum yang siap mengikuti imamnya. Jika aku hanya diam semuanya juga akan diam. Namun aku masih bingung bagaimana cara memulainya.
“Bismillaahirrahmaanirraahiim. Al-Fatihah!” Kumulai. Aku teringat pernah melihat seorang tengku memulai doa dengan membaca Al-Fatihah. Serta-merta kami semua membaca ummul kitab suratul Fatihah bersama-sama hingga selesai.
“Aamiiiin..” Serempak.
“Al-Fatihah!” Seruku lagi sebagai pemimpin doa. Semua kembali membaca surat Al-Fatihah hingga akhir.
“Al-Fatihah!” Perintahku lagi. Lagi-lagi semua membaca seperti sebelumnya.
“Al-Fatihah!” Perintahku lagi-lagi.
“Ah... Masak Fatihah-Fatihah terus, kapan doanya?” Berontak Reza dan Yoyon nyaris serempak. Seperti demo buruh yang meminta gajinya dinaikkan. Seperti demo kaum wanita yang meminta hak-haknya dilindungi. Seperti demo massa yang meminta harga BBM diturunkan. Seperti demo rakyat yang meminta agar presidennya yang tak becus memimpin negeri diturunkan.
“Ya udah, Yusri aja yang memimpin doa.” Serahku. Aku memang tidak tahu mesti berdoa apa. Kuserahkan pada Yusri. Seperti seorang pejabat yang meletakkan jabatannya saat tak lagi sanggup mempertanggungjawabkan jabatannya, itu lebih terpuji. Dari pada pejabat yang terus memegang jabatannya padahal tidak bertanggung jawab sama sekali. Hanya menerima gaji tanpa bekerja.
“Iyalah... kau aja Yus.” Tambah Reza dan Yoyon.
“Baik....” Terima Yusri.
Yusri memulai doa dengan ta’awudz dan basmalah. Dilanjutkan dengan hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah. Diteruskan dengan asma-asma Allah yang baik. Di akhir doa...
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Segala puji hanya bagi-Mu Duhai Rabb seluruh alam.
Ya Allah, Ya Ghafururrahiim, sungguh kami malu dan takut akan dosa-dosa kami. Betapa kotornya diri kami dengan lumpur maksiat. Betapa busuknya hati kami dengan sifat-sifat munkarat. Sampai-sampai kami sangat malu untuk mengatakannya, Engkau yang lebih tahu Ya Allah. Ampunilah Duhai sang Mahapengampun.” Kami amini dengan penuh penghayatan.
“Duhai Rabb, Engkaulah tempat meminta segala sesuatu. Tiada tempat meminta selain kepada-Mu. Duhai Rabb, sebentar lagi kami akan menghadapi Ujian Nasional semoga kami lulus dengan baik. Duhai Rabb, semoga setelah lulus nanti kami semua dapat melanjutkan ke tampat yang terbaik, yang sesuai dengan keinginan kami, yang sesuai dengan keinginan-Mu.” Kami amini denga penuh harap.
“Minta istri yang sholehah juga....” Saranku di tengah-tengah doa. Yusri mengangguk tanda setuju.
“Duhai Rabb, karuniakanlah kelak kepada kami istri-istri yang sholehah. Istri yang jika dipandang menyenagkan hati, istri yang senantiasa membuat hati merasa tentram, istri yang senantiasa menjaga kehormatan diri dan suaminya. Istri sholehah yang selalu taat pada suami. Dan karuniakanlah kelak kepada kami anak-anak yang sholeh dan sholehah, yang senantiasa patuh kepada orang tuanya, dan senantiasa taat kepada-Mu.” Kami amini sambil tersenyum.
“Duhai Rabb, Tiada yang dapat menghalangi apa yang Engkau beri, dan tiada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi. Duhai Rabb, sesungguhnya Engkau Mahamendengar doa-doa. Kabulkanlah. Walhamdulillahirabbil’aalamiin....”
“Aamiiiiiin.” Kami amini denga rasa puas.
“Shor, kau tadi nagapain minta istri?” tanya Reza padaku usai doa.
“Aku pengen nikah, umur dua puluh tahun aku akan nikah, Insayaallah.”
“Wah... ngebet banget, mau nikah muda? Tanya Yoyon.
“Apa salahnya dengan nikah muda?” tanyaku.
“Kalau udah nikah, tanggung jawabnya besar. Ngurusin anak istri. Kalau masih muda gini udah siap kau?”
“Jangan salah. Nikah muda itu keuntungannya banyak.”
“Apalah untungnya?” tanya Yusri.
“Pertama, menikah muda itu mendatangkan pahala dan menjauhkan diri dari dosa zina. Kedua, menikah itu mendatangkan berkah, rezeki bertambah, hidup bahagia, haha.... Terus, menikah muda itu masa-masa produktif terbaik. Kemungkinan bisa memiliki keturunan yang sehat, berbeda kalau nikahnya udah keburu tua.” Jelasku panjang lebar dengan nada sok tahu.
“Nikah itu jangan bayangin yang enak-enaknya ajalah, yang gak enaknya kan juga banyak.” Bantah Yoyon.
“Yon, mengenai masa depan bayangkanlah yang indah-indah aja dan enyahkanlah yang ga enak-enak itu. Itulah salah satu kunci hidup bahagia. Positif thinkinglah janga negatif thinking.” Balasku.
“Bukannya aku bermaskud negatif thinking, tapi bagaimana pun kita harus siap dengan kemungkinan seburuk apa pun yang akan terjadi di masa yang akan datang.”
“Apa gunanya kita mencemaskan kemungkinan buruk di masa yang akan datang yang belum tentu terjadi?”
“Siapa yang bilang mencemaskan? Aku cuma bilang, kita harus siap. ‘KITA HARUS SIAP!’” Debat Yoyon setengah berteriak.
“Udah, udah, udah. Malah berantem.” Sergah Reza.
“Dia tuch, salah dengar. Ga jelas.” Tambah Yoyon belum puas. Panas.
”Dan yang terpenting menikah itu adalah sunnah Rasul.” Tambahku merasa menang.
“Sunnah Rasul? Ya udah, nikah sama janda aja. Rasulullah kan nikah sama janda, berarti itu sunnah Rasul juga.” Balas Reza.
“Haha....” Semua tertawa.
“Bukan gitu. Nikah memang sunnah Rasul, tapi menikah dengan janda itu bukan sunnah Rasul. Rasulullah memerintahkan sebaiknya menikah dengan perempuan yang masih gadis, bukan janda.” Jelas Yusri. Semua masih tertawa.
Ujian Nasional
Ujian nasional sudah di
ambang pintu. Mendengar cerita tentang Ujian Nasional seperti mendengar berita
maut bagi siswa-siswa. Bagaimana tidak, upaya yang sudah dilakukan untuk
membuat jam tambahan belajar bagi siswa di sore hari sama sekali tidak membuahkan
hasil. Setiap kali try out ujian nasional di adakan, tidak ada satu pun dari
siswa yang berhasil lulus. Kalau try out saja tidak lulus, bagaiamana pula
dengan hasil ujian yang sebenarnya nantinya? Semua orang pasti sudah tahu
jawabannya. Otomatis hasilnya sama saja. Gagal.
Malam ini, malam ujian nasional. Besok hari pertama ujian nasional. Aku, Reza, Yoyon dan Yusri belajar bersama di rumah Reza. Niatnya memang belajar, tapi kenyataannya berbeda. Semua yang berusaha untuk dipelajari tidak ada lagi yang masuk-masuk ke dalam otak. Akhirnya semua beralih ke kegiatan masing. Yoyon sibuk dengan handphonenya, entah apa yang ia lakukan padahal katanya sedang tidak ada pulsa. Yusri sibuk di depan laptop, entah apa pula ia kerjakan. Sedangkan aku dan Reza sibuk bernyanyi dan memainkan gitar.
Malam semakin larut. Reza masih memainkan gitar, aku masih bernyanyi. Akhirnya Yoyon dan Yusri ikut bergabung, mereka mengeluarkan makanan dan minuman. Ruanagn itu penuh dengan musik dan nyanyian, penuh dengan makanan dan munuman, penuh dengan canda dan tawa. Ruangan itu bukan lagi seperti ruangan belajar, tapi berubah menjadiseperti ruangan pesta. Buku-buku pelajaran dan soal-soal kisi-kisi ujian hanya berserakan di lantai tidak ada yang melihat apa lagi mempelajarinya.
Besok adalah ujian nasional, seharusnya malam ini kami ekstra belajar. Tapi apa boleh buat, pelajaran sudah tidak bisa masuk lagi. Apa yang akan terjadi besok? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Apa yang terjadi, terjadilah.
***
Hari ini, hari pertama ujian nasional. Semua siswa bergegas masuk ke dalam ruangan masing-masing. Disusul pengawas ujian yang masuk dengan membawa lembaran kertas soal dan lembaran kertas jawaban.
Sejurus kemudian, pengawas membagikan lembaran kertas soal dan lembaran kertas jawaban kepada seluruh siswa. Di ruanganku semua siswa tampak serius menghadapi soal ujian, entah apa yang mereka pikirkan. Keadaan semakin sepi dan mencekam. Semua terdiam seperti sedang berada di acara pemakaman. Menyeramkan. Di ruangan lain pasti tidak jauh berbeda.
Aku masih teringat tadi malam. Acara belajar bersama yang berubah jadi pesta, tidak bisa membantuku mengahdapi soal-soal yang sedang kuhadapi. Jam belajar tambahan di sore hari yang sudah kujalani beberapa bulan lalu juga tidak berguna, sama sekali tidak membantuku. Aku hanya terdiam, sambil berharap akan ada jawaban yang turun dari langit.
Ternyata harapanku dikabulkan, jawaban dari langit pun akhirnya turun. Ada malaikat tak bersayap yang memberikan jawaban. Aku bingung, harus mengucapkan Alhamdulillah atau mengucapkan Astaghfirullah. Akhirnya aku berucap dua-duanya, “Alhamdulillah, Astaghfirullah... Alhamdulillah, Astaghfirullah...Alhamdulillah, Astaghfirullah....”
Haha... it's so funny!
***
Malam ini, malam ujian nasional. Besok hari pertama ujian nasional. Aku, Reza, Yoyon dan Yusri belajar bersama di rumah Reza. Niatnya memang belajar, tapi kenyataannya berbeda. Semua yang berusaha untuk dipelajari tidak ada lagi yang masuk-masuk ke dalam otak. Akhirnya semua beralih ke kegiatan masing. Yoyon sibuk dengan handphonenya, entah apa yang ia lakukan padahal katanya sedang tidak ada pulsa. Yusri sibuk di depan laptop, entah apa pula ia kerjakan. Sedangkan aku dan Reza sibuk bernyanyi dan memainkan gitar.
Malam semakin larut. Reza masih memainkan gitar, aku masih bernyanyi. Akhirnya Yoyon dan Yusri ikut bergabung, mereka mengeluarkan makanan dan minuman. Ruanagn itu penuh dengan musik dan nyanyian, penuh dengan makanan dan munuman, penuh dengan canda dan tawa. Ruangan itu bukan lagi seperti ruangan belajar, tapi berubah menjadiseperti ruangan pesta. Buku-buku pelajaran dan soal-soal kisi-kisi ujian hanya berserakan di lantai tidak ada yang melihat apa lagi mempelajarinya.
Besok adalah ujian nasional, seharusnya malam ini kami ekstra belajar. Tapi apa boleh buat, pelajaran sudah tidak bisa masuk lagi. Apa yang akan terjadi besok? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Apa yang terjadi, terjadilah.
***
Hari ini, hari pertama ujian nasional. Semua siswa bergegas masuk ke dalam ruangan masing-masing. Disusul pengawas ujian yang masuk dengan membawa lembaran kertas soal dan lembaran kertas jawaban.
Sejurus kemudian, pengawas membagikan lembaran kertas soal dan lembaran kertas jawaban kepada seluruh siswa. Di ruanganku semua siswa tampak serius menghadapi soal ujian, entah apa yang mereka pikirkan. Keadaan semakin sepi dan mencekam. Semua terdiam seperti sedang berada di acara pemakaman. Menyeramkan. Di ruangan lain pasti tidak jauh berbeda.
Aku masih teringat tadi malam. Acara belajar bersama yang berubah jadi pesta, tidak bisa membantuku mengahdapi soal-soal yang sedang kuhadapi. Jam belajar tambahan di sore hari yang sudah kujalani beberapa bulan lalu juga tidak berguna, sama sekali tidak membantuku. Aku hanya terdiam, sambil berharap akan ada jawaban yang turun dari langit.
Ternyata harapanku dikabulkan, jawaban dari langit pun akhirnya turun. Ada malaikat tak bersayap yang memberikan jawaban. Aku bingung, harus mengucapkan Alhamdulillah atau mengucapkan Astaghfirullah. Akhirnya aku berucap dua-duanya, “Alhamdulillah, Astaghfirullah... Alhamdulillah, Astaghfirullah...Alhamdulillah, Astaghfirullah....”
Haha... it's so funny!
***
Pilihan Kuliah
Life is the choice. Entah kata-kata itu benar atau tidak, namun dalam hidup ini kita memang kerap di hadapkan dengan pilihan-pilihan. Adakalanya pilihan itu mudah dan bisa diputuskan tanpa perlu berfikir panjang. Namun adakalanya pilihan itu sangat rumit dan pelik, bukan main sulitnya menentukannya. Salah satu pilihan yang sulit itu adalah pilihan kuliah. Universitas yang mana gerangan yang akan di datangi? Perguruan tinggi yang mana kiranya yang akan dituju? Jurusan apalah yang kan diambil? Pertanyaan-pertanyaan itu cukup membingungkan.
Ada yang belum yakin jurusan apa yang ia minati. Ada yang bingung dengan pilihan universitas yang akan ia pilih. Ada yang bingung karena ia tidak punya dana untuk kuliah, sementara orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya. Kebingungan itu beragam, setiap orang memiliki kebingungan masing-masing.
Meski bagi sebagian yang lain itu tidaklah masalah. Ada pula sebagian orang yang telah tuntas kebingungannya. Ada orang yang sudah cocok dengan pilihah jurusan dan universitasnya. Ada yang tidak perlu bingung dengan biaya, mereka memiliki orang tua yang mampu. Ada yang telah tuntas kebingungannya karena telah mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Beruntungah mereka. Namun di balik itu semua, masih banyak yang merasa gelap karena di rundung kabut tebal dan belum mendapatkan cahaya penerangan. Bingung harus melangkah kemana dan bagaimana cara melangkah.
***
Aku sudah tidak bingung lagi. Aku sudah mantap untuk tidak langsung kuliah. Tidak kuliah bukan berarti menganggur. Aku akan melanjutkan ke Young Enterpreneut Academy, sebuah akademi non-formal yang mencetak pengusaha-pengusaha muda yang berada di Bandung. Awalnya aku bingung karena ayahku tidak begitu mengizinkan. Aku juga teringat dengan harapan almarhumah ibuku, beliau berharap agar aku bisa belajar di unversitas negeri. Tapi yang kuminati saat ini adalah menjadi pengusaha, bukan menjadi mahasiswa.
Aku bukannya tidak ingin memnuhi harapan almarhumah ibuku. Namun aku yakin dan berprasangka baik, ibuku pasti mendukung minatku. Jika ia tahu bahwa ini adalah demi ambisi, cita-cita dan harapanku. Ibu mana yang tidak mendukung untuk kebahagiaan anaknya? Ibuku pasti selalu berdoa untukku. Ibuku pasti merestui pilihanku. Kuharap begitu. Dan masalah kekurangsetujuan ayahku, akhirnya aku berhasil meyakinkannya. Dan sekarang, ayahku mendukung penuh terhadap pilihanku. Alhamdulillah.
Aku sudah mantap memilih YEA.[vii] Reza juga sudah mantap untuk memilih UNIMED.[viii] Namun sepertinya Yoyon dan Yusri masih bingung.
“Aku masih bingung. Mungkin aku akan ikut test ke UNIMED juga. Tapi, aku bingung dapat biaya dari mana nantinya.” Cerita Yoyon.
“Entahlah... aku sama sekali ga tau apa yang kuminati. Setiap kali aku mencoba berpikir tentang kuliah, selalu saja ada bisikan, ‘Alah... nagapain mikirin kuliah. Dapat duit dari mana?’. Jadinya aku tak pernah berhasil memikirkan masalah kuliah.” Cerita Yusri.
“Sabarlah... dan terus berdoa. Di mana ada kemauan di situ ada jalan.” Kata Reza.
“Yakinlah, masalah rezeki itu sudah di atur oleh Allah. Dan jangan pesimis seperti itu.” Aku pun ikut mencoba menguatkan.
***
Aku teringat dengan kakek tua yang tinggal di gubuk dekat sungai SKPC sana. Waktu itu aku terjebak hujan dan terpaksa singgah di gubuk kakek itu. Karena hujan turun begitu lama, kakek itu sempat bercerita panjang lebar kepadaku.
“Minumlah, nak.”Kata kakek itu, sambil menyodorkan segelas teh hangat kepadaku.
“Terimakasih, kek.” Terimaku.
“Kakek tinggal sendirian?” Kuberanikan bertanya.
“Ya. Sejak istriku meninggal dunia aku di sini tinggal sendirian.”
“Oh... maaf, kek.”
“Aku punya anak laki-laki. Tapi dia jarang pulang, di bekerja di penjualan ayam potong di pasar. Kamu masih sekolah, nak?”
“Masih, kek. Saya sekolah di SMA. Anak bapak sekolah di mana?”
“Dia tidak sekolah lagi.”
“Kenapa, kek?”
“Sejak lulus dari SLTA dia berhenti sekolah. Nah... itu, ia langsung kerja di tempat penjualan ayam potong.”
“Kenapa dia tidak melanjutkan ke Kuliah, kek?”
“Aku tidak sanggup membiyayainya untuk kuliah. Ya... terpaksa dia berhenti. Mau bagaimana lagi. Kasihan memang anak zaman sekarang. Siapa yang tidak memiliki kemampuan keuangan akan tersingkir. Bukan hanya dalam hal sekolah, semuanya membutuhkan uang. Dalam mencari pekerjaan, saat mencalonkan diri menjadi pejabat, saat mencalonkan diri menjadi pemimpin juga begitu. Yang memiliki banyak uanglah yang akan memnag dan berkuasa. Tidak peduli apakah ia pintar atau goblok. Yang penting uang, sekarang yang berbiacara dan berkuasa itu ya... uang. Hukum juga bisa dengan mudah dibeli dengan uang. Uang sudah menjadi tuhan kebanyakan orang. Miris. Berbeda dengan zaman kakek dulu.”
“Memangnya zaman kakek dulu bagaiman?”
“Haha... jelas berbeda.”
“Berbeda bagaimana, kek?”
“Dulu, siapa yang mampu ialah yang maju. Siapa yang berpotensi ialah yang berhak. Tidak peduli apakah ia punya uang atau tidak, yang penting ia punya otak. Dulu kakek Sekolah Rakyat di Yogya. Tamat SR[ix] kakek langsung masuk test tentara. Dulu masih zaman penjajahan Belanda. Kamu kenal Soekarno? Ha...? Kenal enggak?”
“Iya... saya kenal.”
“Soekarno itu teman kakek berperang dulu waktu masa penjajahan. Kakek dulu tentara, dan abang kakek juga tentara. Tapi, ketika abang kakek mati terbunuh saat bertugas ke Kalimantan, akhirnya kakek dipaksa berhenti oleh orang tua. Keluar dari tentara.”
“Waaah... berarti kakek ini dulunya tentara. Berarti kakek ini pahlawan?”
“Ya... begitulah. Betapa sulitnya para pejuang bangsa terdahulu mengupayakan kemerdekaan bangsa ini. Bercucuran keringat darah, meninggalkan anak dan istri, bahkan rela mengorbankan jiwanya demi kemerdekaan bangsa ini. Tapi lihatlah apa yang dilakukan generasi bangsa ini, mereka sama sekali tidak menghargai kemerdekaan yang begitu manis. Malah mereka membiarkan bangsa ini dijajah para koruptor, dijajah kebodohan, dijajah kemiskinan. Yang bisa sekolah pun hanya yang punya uang.”
Aku terdiam tanpa komentar.
***
Yoyon dan Yusri masih terdiam dalam bingungnya. Mereka belum menemukan jawaban dari kebingungan itu. Sudah beberapa hari ini mereka murung dan tak pernah lagi tertawa seperti biasanya.
“Sudahlah Yon, Yus. Kan Yusri sendiri yang pernah bilang sama kita, ‘Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka. Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupi keperluannya.’”[x] Aku kembali mencoba menyemangati.
“Itu artinya, yang perlu kita lakukan sekarang ialah meningkatkan ketakwaan dengan cara meningkatkan ketaatan kita kepada Allah. Setelah itu kita bertawakkal dan menyerahkan seluruhnya kepada Allah.” Tamban Reza.
“Lalu?” Tanya Yoyon dan Yusri.
“Lalu... Lalu... Lalu....” Reza agak kebingungan.
“Lalu tersenyumlah....” Jawabku.
Semua tersenyum.
“Hahahaha....” Lalu tertawa.
Perpisahan
Sejenak semua masalah terlupakan. Tentang jurusan
kuliah, tentang perguruan tinggi yang ingin dituju, dan tentang semua masalah
yang selama ini membingungkan. Semua terfokus pada persiapan perpisahan.
Seperti biasa, setiap tahun acara perpisahan memang
diadakan. Acara perpisahan yang yang di isi dengan serangkaian acara yang
dimeriahkan dengan hiburan-hiburan yang diikuti oleh seluruh siswa dan guru.
Dan tahun ini, acara perpisahan ini untuk melepas kami siswa yang sebentar lagi
akan lulus.
***
Kami mendapat amanat dari wali kelas untuk
mempersembahkan penampilan kelas. Aku belum menemukan ide untuk menampilkan
sesuatu. Aku masih bingung. Yusri juga sama bingungnya denganku. Memang benar,
ide dan inspirasi itu tidak dapat dipaksakan. Kami beralih mencari kegiatan
lain, sambil mencari-cari inspirasi.
Kami sedang berada di Laboratorium Komputer. Yoyon
yang ngefans berat sama Andrea Hirata sedang menonton film Laskar Pelangi.
Sebuah film yang diangkat dari novel Laskar Pelangi, novel pertama dari
tetralogi Laskar Pelanginya Andrea Hirata. Aku, Reza, Yusri, dan Saiful teman
sekelas Reza ikut bergabung bersama Yoyon. Menonton film Laskar Pelangi.
Menarik. Film itu bercerita tentang kehidupan anak-anak miskin yang tengah
belajar di SD Muhammadiyah di Belitung. Kehidupan yang bersahaja meski penuh
dengan keterbatasan.
Usai menonton film Laskar Pelangi dilanjutkan dengan
film Sang Pemimpi, sebuah film yang diangkat dari novel kedua tetralogi Laskar
Pelangi. Film itu bercerita tentang lanjutan kisah dari tokoh-tokoh film Laskar
Pelangi. Semakin menarik karena film ini mengisahkan cerita masa SMA. Sesuai
dengan yang sedang kami alami.
Semua tampak serius menonton film itu. “Yang
penting dari mimpi, bukanlah seberapa besar mimpi itu, tapi sebesar apa kita
untuk mimpi itu.” Kata pak Balia dalam film itu.“Orang macem kite
nih harus bisa bermimpi, kalo tak bermimpi kite kan mati”. Kata
Arai menyemangati Ikal yang hampir putus asa. “Bermimpilah, maka
Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”. Tambah Arai lagi.
Yoyon dan Yusri yang kemarin bingung dengan masalah
Kuliah, sekarang mulai termotivasi. Apa lagi ketika mendengar Arai dan Ikal
yang memiliki mimpi ingin kuliah ke Sorbonne, Paris. Mereka sepertinya malu
pada diri sendiri. Menagapa mereka selama ini tak berani bermimpi. Bermimpi itu
hak semua orang.
Kata sapaan ‘boy’ yang biasa dipakai oleh tokoh dalam
film itu menular kepada kami. Kami jadi senang memanggil satu sama lain dengan
sapaan ‘boy’. Bisa dibilang kami terlalu terinspirasi dengan cerita film itu.
Sampai-sampai ketularan dengan ciri khas tokoh.
“Boy! Aku punya ide untuk penampilan di acara
perpisahan nanti.” Kataku kepada Yusri usai menonton film Laskar Pelangi dan
Sang Pemimpi. Aku, Yusri, Yoyon, Reza, dan Saiful masih berada di Lab Komputer.
Sekarang semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Apaan, boy?” Tanya Yusri penasaran.
“Kita nyanyi aja.”
“Lagu apa?”
“Ingat enggak lagunya Arai dalam Sang Pemimpi tadi?”
“Iya. Terus...?”
“Kita bawa lagu itu aja. Gimana?”
“Hmm... apa lagu itu terlalu jadul?”
“Ya... enggak apa-apa. Justru lagu-lagu yang seperti
itu yang menarik di acara perpisahan. Trus... lagu itu kan lagunya Arai untuk
si pujaan hatinya Zakiyah Nurmala ketika sebentar lagi mereka akan berpisah.
Nah... sekalian aja kau anggap lagu ini sebagi persembahanmu untuk pujaan
hatimu sana, sebelum kalian berpisah. Gimana?” Godaku sambil tertawa.
“Alah... serius lah.”
“Iya, serius. Tapi....”
“Tapi kenapa?”
“Yang memainkan musik siapa? Kita kan enggak bisa main
gitar.”
“Ajak Reza aja. Dia kan ahli main gitar. Gitar itu
makanan kesukaan keduanya setelah Matematika.”
“O, iya.”
“Za, Ikut kita yuk! Nyanyi di acara perpisahan nanti.
Kau yang main gitar.” Ajakku pada Reza yang sedang sibik di depan komputer di
sudut sana.
“Boleh...” Terima Reza.
“Yon, ikut nyanyi yuk!” Ajak Reza pada Yoyon yang
sedang duduk di kursi sebelahnya.
“Ah... jangan ngejek lah.” Jawab Yoyon, kesal.
“Ngejek gimana?”
“Udah tahu suaraku cempreng. Sangat tidak nyaman untuk
digunakan menyanyi.”
“Haha....” Kami semua tertawa, kecuali Yoyon yang
masih konsisten dengan wajah kesalnya.
“Ya udah... ikut main gitar aja.” Tawar Reza lagi.
“Main gitar... apa lagi, manalah aku bisa. Aku tidak
suka di depan layar, aku lebih suka di belakang layar aja. Biarlah aku
koordinator sound atau jadi dokumentator aja.” Jawabnya dengan wajah serius.
“Ful... tampil di acara perpisahan jadi gitaris. Ikut
enggak?” Ajak Reza lagi. Kali ini pada Saiful yang duduk di kursi sebelah
Yoyon.
“OK. Tidak masalah.” Jawab Saiful, mantap.
***
Hari ini, acara perpisahan digelar. Panggung sudah
tampak siap dengan dekorasinya. Perangkat sounds system juga sudah siap.
Kursi-kursi untuk para guru dan tamu undangan sudah rapi ditata. MC juga telah
stand by untuk memulai rangkaian acara.
Pagi ini, acara perpisahan dimulai. Semua tampak
bahagia, ceria, tidak ada tampak tanda-tanda kesedihan akan perpisahan. Acara
di mulai dengan penampilan tari dari sanggar tari sekolah. Kemudian acara
dibuka oleh MC, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kemudian
dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan dari kepala sekolah dan
perwakilan dari wali siswa.
Kepala sekolah memberikan sambutan,
“Anak-anakku sekalian.
Sudah tiga tahun kita bersama. Masa yang cukup untuk
meninggalkan kesan yang tak kan terlupakan. Kami sebagai guru dan kalian
sebagai siswa di sekolah ini adalah seprti orang tua dan anaknya di rumah.
“Anak-anakku sekalian.
Meski nanti kalian telah keluar dari sekolah ini,
tetaplah menghormati guru-gurumu. Lihatlah keikhlasan dan kesabaran mereka
dalam mengajarkanmu ilmu. Tanpanya, kalian tidak akan mengenali angka dan
huruf, kalian tidak akan bisa menulis dan membaca, kalian akan buta dan tak
mampu menatap masa depan dengan cita-cita yang gemilang. Hormati terus gurumu.
Meski ada mantan presiden, mantan gubernur, mantan pejabat, namun tidak ada
namanya ‘mantan guru’, bagaimana pun mereka akan tetap menjadi gurumu meski
kalian tidak lagi bertemu dengan mereka.
“Anak-anakku sekalian.
Kami telah berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian.
Maafkanlah kami jika dalam mendidik kalian masih banyak kekurangan yang kami
lakukan. Dan dengan kesalahan dan kenakalan kalian, kamu sudah memaafkan
semuanya meski kalian tidak meminta maaf. Tidak ada guru yang benci apa lagi
dendam terhadap siswanya. Kami tidak pernah mengingat-ingat kesalahan kalian.
Kami maklum dam mengerti atas kesalahan dan kenakalan kalian, dan tugas kami
sebagai gurulah untuk berusaha memperbaikinya.
“Anak-anaku sekalian.
Kami semua berharap semoga kalian berhasil. Bisa menjadi
generasi penerus bangsa yang lebih baik, ynag kelak akan meneruskan estafet
perjuangan pengabdian terhadap bangsa, masyarakat dan agama. Doa dan restu kami
selalu menyertai kalian semua, di mana pun kalian berada.
“Anak-anakku sekalian.
Sepertinya tidak banyak kata yang bisa bapak sampaikan
selain doa dan harapan semoga kalian semua dapat memperoleh yang terbaik dan
menuju masa depan yang kalian cita-citakan.”
Semua terharu mendengar sambutan dari kepala sekolah.
Sambutan yang begitu tulus memberikan nasehat, pesan, dan motivasi yang sangat
berharga untuk kami.
Acara kembali ke tangan MC. Kali ini akan diumumkan
siswa-siswi yang berprestasi untuk seluruh siswa angkatan tahun ini. Mulai dari
kategori siswa berprestasi di bidang sains, olahraga, agama, pemilihan Mr and
Mrs Favorit, dan banyak lagi kategori siswa berprestasi dari bidang-bidang
lainnya.
Saat pengumuman, siswa yang terpilih sebagai siswa
beprestasi dalam bidang-bidang tertentu silih berganti naik ke panggung. Yoyon
mendapat penghargaan sebagai siswa beprestasi di bidang Sains. Reza juga
mendapat penghargaan di bidang sains. Yusri mendapat penghargaan di bidang
sains dan agama, dan juga terpilih sebagai Mr terfavorit dalam pemilihan Mr and
Mrs Favorit.
Di antara kami berempat hanya aku yang tidak
mendapatkan penghargaan siswa berprestasi. Namun tidak masalah bagiku, memang
itu tidak kuharapkan sama sekali. Karena itu tidaklah berarti bahwa aku bukan
siswa yang berprestasi. Setiap manusia pasti telah dianugerahi bakat dan
prestasi masing-masing. “Pasti aku memiliki prestasi yang lain, yang suatu saat
akan kubanggakan meski saat ini belum terlihat oleh orang lain. Pasti.
Insyaallah.” Gumamku, bahagia.
Pengumuman dan penyerahan penghargaan untuk
siswa-siswi berprestasi telah usai. Acara mulai merangkak memasuki penampilan
kreasi dari seluruh siswa-siswi. Penampilan nyanyian, tarian, drama, teater,
musikalisasi puisi, puisi bertaut, dan kreasi-kreasi lainnya ditampilkan silih
berganti. Acara smakin meriah dan menarik.
Di tengah meriah dan menariknya acara, akhirnya nama
kami pun di panggil. Selama satu minggu yang lalu kami sudah latihan untuk
mempersiapkan penampilan hari ini.
“Penampilan selanjutnya, ialah penampilan dari kelas
IPA2 dan IPA3.” Panggil MC.
Itu adalah kami. Aku dan Yusri dari kelas IPA3,
sedangkan Reza dan Saiful dari IPA2. Kami berempat menaiki panggung
dengan sedikit gugup, namun terus memaksakan untuk percaya diri. Bagaimana pun
kami sudah berlatih keras untuk penampilan ini, haus tampil total. Aku dan
Yusri di bagian vokal, sedangkan Reza dan Saiful di bagian gitar.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh....”
Sapaku pada penonton dengan suara agak bergetar.
“Kami perwakilan dari kelas IPA2 dan
IPA3 akan mempersembahkan sebuah tembang melayu.” Gantian
dengan Yusri yang juga dengan suara yang sedikit serak.
“Yang berjudul, Fatwa Pujangga....” Tambah kami
serempak. Serta merta sorak-sorai penonton menjadi riuh. Membuat nyali makin
ciut, tapi harus tetap tampil maksimal. Berusaha percaya diri saja.
Suara dari petikan gitar Reza dan Saiful mulai
mengalun, mendayu pelan. Keriuhan penonton semakin menjadi-jadi.
“T’lah kuterima suratmu yang lalu...
Penuh sanjungan kata merayu...
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan madah fatwa pujangga...”
Sorak-sorai penonton semakin ramai saja, diiringi
gemuruh tepuk tangan.
“Kan kusimpan... na na na na na na...
Na na na na na... na na na na na na...”
Wah... gawat, aku lupa liriknya. Yusri
memberikan isyarat dengan ekspresi wajahnya yang agak bingung, sepertinya dia lupa juga. Benar-benar
gawat. Padahal sudah selama satu minggu kami menghafal lirik lagunya.
Mungkin karena gerogi kami jadi lupa.
“Jreng... jreng....”
Reza dan Saiful tidak masalah dengan petikan gitarnya.
“Na na na na na... na na na na na na...”
Kami masih lupa liriknya. Tapi sudahlah kami pura-pura
santai saja, sambil tersenyumseolah tidak terjadi apa-apa. Lagu kami lanjutkan,
“Tapi sayang... sayang sayang
Seribu kali sayang...
Ke manakah... risalahku
Kualamatkan...
Terimalah jawabanku ini...
Hanyalah doa restu Ilahi...
Moga lah Dek... kau tak putus asa, sayang
Pasti kelak kita kan berjumpa...
Jreng... jreng...
Moga lah Dek... kau tak putus asa, sayang
Pasti kelak kita kan berjumpa....”
Penampilan kami berakhir, suara sorak-sorai penonton
masih terdengar. Kami turun dari panggung. Malu, senang, bangga, puas, semua
bercampur menjadi satu. Malu, karena tadi lupa lirik lagunya. Senang, tak
terungkapkan. Bangga, karena kami telah berhasil menampilkan persembahan kami
meski tidak sempurna. Puas, tugas telah usai.
Semua acara hiburan, semua penampilan kreasi siswa
telah usai. Semakin ke penghujung acara suasana semakin terasa mengharukan.
Akhirnya sampai kepada acara terakhir, acara ditutup dengan saling berjabatan
tangan dan berpelukan antara seluruh siswa dan guru-guru. Jabatan tangan dan
pelukan perpisahan.
Haru tak terperi. Air mata tak terbendung. Entah itu
adalah air mata kebahagiaan atau air mata kesedihan. Entah itu karena
kebahagiaan karena sebentar lagi akan lulus, atau itu adalah kesedihan karena
sebentar lagi akan berpisah. Namun bagaimana pun, tidak ada yang mampu mencegah
perpisahan, meski hati merasa berat untuk berpisah. Namun perpisahan adalah
sebuah keniscayaan. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Kami hanya bisa
berharap, semoga kelak bisa berjumpa lagi dalam suasana dan keadaan yang lebih
indah. Nasehat kepala sekolah dalam kata sambutan tadi masih saja terngiang,
“Anak-anaku sekalian.
Kami semua berharap semoga kalian berhasil. Bisa
menjadi generasi penerus bangsa yang lebih baik, yang kelak akan meneruskan
estafet perjuangan pengabdian terhadap bangsa, masyarakat dan agama. Doa dan
restu kami selalu menyertai kalian semua, di mana pun kalian berada Semoga
kalian semua dapat memperoleh yang terbaik dan menuju masa depan yang kalian
cita-citakan.”
“Oh... bapak dan ibu guru. Maafkanlah kami. Nasihat
bapak dan ibu akan kami ingat selalu. Terimakasih... Oh, guruku.” Gumamku
lirih.
Kejarlah
cita-citamu kawan!
(Kisahku menuju YEA, Yusri-PTIQ,
Reza-Politekhnik Aceh, Yoyon- UNSIYAH)
Seusai UN, selang tak berapa lama aku langsung angkat kaki keluar dari kota Subulussalam tercinta. Bukan aku tak betah, tapi aku mesti melanjutkan episod hidup. Tak mungkin selamanya aku hanya berdiam di kota ini. Seperti wasiat imam Syafi’i, “Merantaulah! Orang yang beradab tidak akan diam di kampung halaman.”
Aku sempat bingung, jalan mana harus
kutempuh. Sempat terlintas dibenakku, akan keinginan almarhum ibuku, “Ibu ingin
kamu bisa masuk universitas negeri, nak,” ucap ibuku suatu ketika.
Tapi sekarang, bukan itu keinginanku. Aku yakin, ibu pasti setuju dengan keinginanku saat ini jika saja ibu masih di sini, dan aku pun sudah bermusyawarah dengan ayahku, dan sukurlah beliau mengamini keinginanku. Akhirnya aku mantap melangkah menuju Young Enterpreneur Academy (YEA) yang berada di kota kembang, Bandung.
Tapi sekarang, bukan itu keinginanku. Aku yakin, ibu pasti setuju dengan keinginanku saat ini jika saja ibu masih di sini, dan aku pun sudah bermusyawarah dengan ayahku, dan sukurlah beliau mengamini keinginanku. Akhirnya aku mantap melangkah menuju Young Enterpreneur Academy (YEA) yang berada di kota kembang, Bandung.
***
Sekarang, aku telah tiba di Bandung. Ini bukanlah akhir kisah, namun awal perjalanan. Semua baru saja dimulai. Jalan ke depan telah terbentang, masa depan cerah telah menanti. Bagaimana gerangan kabar ketiga sahabatku?
“Asslm.
Boy, bgmn kbr kalian? Di bumi mana
kalian skrg?
Bandung ramah menyambutku,
awewe-awewe Sunda gelis-gelis pisan.
Haha..
Skrg aku sdh resmi dtrima di YEA.
Fantastis, aku bertmu dgn banyak
enterpreneur2 sukses,
Motivaor2 handal. Pokoknya, Amazing!
Kuharap, pengalaman kalian tak kalah
hebat.”
Ku-send
pesan itu pada ketiga sahabatku. Tak berapa lama, balasan...
From
: Reza
“Www.
Baik, sukurlah..
Seblumnya aku smpt ditolak d bbrp
Universitas.
Aku sempat frustasi krn kecewa.
Tp skrg tdk lg, kawan!
Aku tlh diterima di Politekhnik Aceh.
Inilah tempat trbaik bagiku, ku yakin.
Dan kukatakan pd universitas2 yg tlh
menolakku,
‘Kalian pasti menyesal karena telah
menolak
manusia Cerdas sprtiku!’
(ngibur diri)”
From : Yoyon
“Wlkumslm.
Great!
Aku hampir sama dg Reza, di tolak dbbrp
Universitas.
Tp, bagiku bukanlah mreka yg mnolakku.
Melainkn akulah yng menolak mereka.
Krena skrg sdh mdptkn tmpt trbaik,
FKIP-FISIKA d Unsiyah.
Haha... sesuai cita-cita. Fisika.”
From : Yusri
“Wlkmslm.
Alhamdulillah, all is well.
Sesuai dg rencana Tuhan, haha.
Aku telah diterima sbg mahsiswa di PTIQ
Jakarta,
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...
“Para Penghafal Al-Qur’an adalah
panji-panji Islam”
(Fudhail bin ‘Iyadh)
Allahummarhamna bil qur’an. Amiin..
Titip salam utk kembang-kembang
Bandung..
Nikahlah secepatnya, sprt janjimu, 20
tahun. haha.”
Aceh, Jakarta, Bandung. Sekarang kami berpisah di tiga kota. Selamat berjuang, kejarlah cita-citamu kawan!
Vila Inti Persada, Tangerang.
Pertemuan Dengan Sahabat Lama
BB-ku bergetar. Ada pesan masuk.
“Boy... Aku dah nyampe ni
Di Msjd Al-Bina GBK, ane sholat Zuhur bntar.
Ente di mana.” Pesan dari Yusri.
“Saya di dalam. Di Pintu I. Kutunggu.” Balasku.
Dia masih seperti itu, tidak pernah meninggalkan sholat. Disiplin dalam sholat, itulah salah satu kebiasaan yang Ia ajarkan kepadaku dan kepada teman-teman yang lain sejak di SMA dulu. Setiap kali ada di antara kami yang malas mengerjakan sholat ia selalu berupaya menagjak. Entah apa-apa saja yang ia katakan agar kami tidak malas sholat.
Aku masih ingat semua perkataannya jika ada di antara kami yang malas sholat. Katanya, “Sholat yuk! Tau ga? Amalan yang pertama kali di hisab di akhirat kelak adalah sholat. Jika amalan sholat seseorang baik, maka baiklah semua amalannya yang lain. Jika amalan sholatnya buruk, maka buruk pulalah semua amalannya yang lain.[xi]
“Kadang ia berkata, “Orang yang meninggalkan satu waktu sholat fardhu dengan sengaja maka ia adalah kafir.”[xii] Kadang pula ia berkata, “Ingatlah perkataan Hasan Al-Bashri, ‘Apa lagi yang kau banggakan dari agamamu, jika sholat pun kau abaikan!’”. Ia memang tidak pernah bermaksud memaksa dan menggurui orang, namun jika sudah mendengar perkataan-perkataan itu tidak ada lagi yang tahan untuk menolak ajakannya untuk sholat, kecuali orang-orang yang memang hatinya benar-benar tertutup.
Berkat bersahabat dengannya, aku dan sahabat-sahabat lainnya akhirnya mengerti betapa pentingnya menjaga kedisiplinan sholat. Meski awalnya kami mengerjakan sholat hanya karena takut dengan ancaman-ancaman yang ia katakan terhadap orang yang melalaikan sholat, namun akhirnya kami bisa merasakan bahwa sebenarnya sholat itu adalah kebutuhan. Dan yang terpenting, sholat itu adalah sebagai sarana menyukuri nikamat Allah dan sebagai sarana agar senantiasa zikir kepada-Nya.
Benarlah memang, siapa yang berteman dengan tukang besi akan mendapat percikan apinya, dan siapa yang berteman denga tukang minyak wangi ia akan mendapat bau wanginya. Aku bersyukur memiliki sahabat sepertinya.
BB-ku kembali bergetar.
“Boy... Ane di pintu X ni.
Ente d mana?”
“Aku masih di pinti I.
Kesinilah...” Balasku.
Beberapa saat lamanya. Kami belum juga bertemu.
“Boy... Ane dah keliling dua kali.
Ko’ ga ketemu.” Pesannya.
Aku pun mulai bergerak. Kudekati sebuah patung berwarna merah tua agak kecoklatan dengan busur panah di tangan kirinya.
“Boy... Skrg aku di dekat patung.
Patung ya sdg megang busur.
Ada liat patung ga?”
“Ada....”
“Coba ke patung itu.”
“Dah... ane di dekat patung.
Ente d mana?”
“Ya... saya d dpn patung itu.
Pake jaket hitam.”
“Ah... ga ada. Ane aja di sini sendirian d dpn patung.
Kaya org gila.”
“Masak?”
“Ah... sialan. Emangnya ptung brbusur panah cm satu?
Kan ga cm satu.”
Aku baru sadar, kami ternyata di depan
patung yang berbeda. Pantas saja tidak bertemu.
“Ya udh. Saya berputar mengelilingi stadion searah
jarum jam,
kamu mengeliligi berlawanan dengan arah jarum jam.” Saranku.
“Ok.” Balasnya. Stadion GBK memang
cukup luas, dan cukup membuatku bingung.
Beberapa saat kemudian. Akhirnya kami
bertemu juga.
“Assalamu’alaiikum.” Salamnya.
“Wa’alaikumussalam.” Jawabku. Kami
berjabatan tangan sambil berangkulan. Melepas kerinduan seorang sahabat
terhadap sahabatnya.
“Udah makan belum? Cari makan yuk.”
Tanyaku.
“Sebenarnya ane lagi puasa. Tapi,
ayuklah.”
“Lho, kok gitu?”
“Ialah. Siapa tau aja menerima ajakan
makan dari sahabat dengan maksud menyenangkan hatinya lebih berpahala dari pada
berpuasa.” Candanya.
“Alah... bilang aja lapar.” Balasku.
“Haha....” Kami tertawa bersama.
Aku agak bingug untuk mencari tempat
makanan yang pas untuk kami berdua, aku belum terbiasa dengan daerah Jakarta.
Akhirnya kami bergegas menuju Plaza Semanggi. Kami memanfaatkan waktu sebaik
mungkin, karena nanti sore saya harus segera kembali ke Bandung.
Kusempatkan memesan tiket jurusan Jakarta-Bandung di travel depan plaza. Usai memesan tiket kami langsung masuk ke dalam plaza. Kami makan di sebuah restoan Cina. Makan di restoran itu membuat kami seperti bernostalgia, mengingtkan kami pada waktu masih di SMA. Ketika kami sering makan bersama dengan teman-teman yang lain di Kafe Dinar, Kafe Penang, dan terkadang di pusat jajanan di Lapangan Beringin ketika masih di Subulussalam. Cuma sekarang agak berbeda, karena kami hanya berdua.
Kami banyak bercerita tentang masa lalu
dan masa depan. Berbagi kabar dan bertukar pikiran. Sesekali tertawa mengingat
kelucuan masa lalu. Sesekali serius bercerita tentang rencana hidup ke
depan.
Tepat pukul empat pas. Aku harus
segera pulang ke Bandung. Aku menemani Yusri mencarikan taksi
untuknya. Tidak sulit untuk menemukan taksi, hanya beberapa saat menunggu kami
menyetop sebuah taksi.
Sebelum ia masuk ke dalam taksi itu kami kembali berjabatan tangan dan berangkulan seperti pertama bertemu tadi.
Sebelum ia masuk ke dalam taksi itu kami kembali berjabatan tangan dan berangkulan seperti pertama bertemu tadi.
“Assalamu’alaikum.” Salamnya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabku. Persis
seperti tadi ketika kami bertemu.
Ia masuk ke dalam taksi, lalu taksi itu
pun mulai bergerak pergi. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Terus
kupandangi taksi itu hingga lenyap di tinkungan jalan. “Pertemuan yang amat
singkat, hanya beberapa jam.” Gumamku.
Aku harus segera kembali ke Bandung. Mobil travel Jakarta-Bandung telah menantiku. Aku bergegas memasuku mobil, dan mobil yang kutumpangi pun mulai bergerak meninggalkan Jakarta. Dalam hati aku berkata,
“Sahabat,
Jakarta
menjadi saksi atas pertemuan kita yang amat singkat,
Berjuanglah...
Kejarlah
ambisimu, wujudkan mimipimu, gapailah citamu,
Kelak
kita akan kembali dengan menggenggam kesuksesan. Aamiin”
Pesan dari
Sahabat
Sahabat,
Meski
kita terpisah
Dibelahan
bumi yang berbeda
Aku
tak pernah terlupa
Akan
mimpi-mimpi yang kita gantungkan
Akan
cita-cita yang kita dengungkan
Tak
pernah...
Sahabat,
Saat
lelah menderamu
Ingatlah,
Kau
tidak sendiri
Setiap
orang juga merasakannya
Sukses
adalah tetesan dari lelahmu berjuang...
Sahabat,
Jangan
menyerah, jangan putus asa
Dari
tenaga yang tersisa
Ingat
kembali mimpi-mimpi itu, wujudkan ia
Ingat
kembali cita-cita itu, gapai ia
Kejarlah
ia,
Meski
hingga ke ujung dunia sekali pun.
Never
Give Up...
Keep
Fight!!!
Diselesaikan
Kamis, 1 Muharam 1434 H
Tangerang,
Indonesia.
Catatan Penulis
Segala puji hanyalah bagi Allah
yang
senantiasa memberiku kenikmatan
yang
terkadang tiada kusadari
dan
lupa untuk kusukuri.
Kenikamatan
yang jika dihitung-hitung
tak
kan sanggup untuk menghitungnya
Terimakasih
duhai Rabb
Engkau
masih memberikan nafas ini berhembus
nadi
ini berdenyut
jatung
ini berdetak
darah
ini mengalir
mata
ini melihat
telinga
ini mendengar
tangan
ini berbuat
kaki
ini melangkah
akal
ini berfikir
hati
ini merasa.
Semoga dengan segala nikmat itu, Engkau masih memberikanku kesempatan untuk bertaubat, belajar untuk senantiasa bersyukur, membersihkan diri dari kubangan lumpur dosa, menyucikan hati dan jiwa dari kebusukan, berbenah diri, mengumpulkan bekal untuk akhirat, dan agar senantiasa ingat kepada-Mu. Aamiin.
Tujuan utama mengingat dan mengenang masa lalu, bukanlah untuk tertawa dengan hal-hal yang menyenangkan dan bukan pula untuk meratapi hal-hal yang menyedihkan. Seperti kata seorang maestro motivator muslim dunia, “Jadikanlah masa lalu sebagai pelajaran, jadikanlah masa depan sebagai proyeksi, dan hiduplah pada saat ini saja.”
Cerita ini hanyalah untuk mengingat kembali masa-masa SMA penulis bersama para sahabat. Meski diangkat dari kisah nyata namun tidaklah sepenuhnya nyata, cerita ini banyak dibumbui dengan cerita fiktif, cerita yang di dramatisir, banyak yang ditambah dan dikurangi di sana-sini.
Kebaikan-kebaikan yang diceritakan dalam tulisan ini bukan lah bermaksud untuk ria apa lagi membangga-banggakan diri. Lagi pula, kebaikan-kebaikan yang dalam tulisan ini banyak yang dibuat-buat, rekayasa. Di akhirat kelak Allah akan menghinakan dan mempermalukan orang-orang yang berlaku ria, akibat perbuatan mereka sendiri. Na’udzubullah! Penulis hanya bermaksud, semoga penyebutan kebaikan-kebaikan itu menjadi doa. Semoga memang benar-benar menjadi baik.
Begitu pula keburukan-keburukan yang disebutkan. Tidaklah bermaksud untuk mempermalukan dan membuka aib orang. Orang yang membuka aibnya sendiri adalah orang yang tidak pandai bersukur, padahal Allah telah menutupi aib-aibnya. Dan orang yang membuka aib saudaranya, kelak Alah akan memperlihatkan segala aibnya di hari kiamat. Lagi pula keburukan yang diceritakan dalam cerita ini tidaklah sepenuhnya benar. Penulis hanya berharap, jika seandainya keburukan-keburukan itu memang benar jadikanlah sebagai bahan muhasabah, bahan introspeksi diri.
Sebenarnya, penulisan cerita ini adalah atas usul Irham, tokoh utama dalam cerita di atas. Dan akhirnya teman-tema yang lain—Reza dan Yoyon—pun mendukung dan memberikan ide dan saran dalam penulisan. Untuk itu, terimakasih banyak untu mereka.
Cerita ini berbentuk catatan. Saya tidak tidak tahu jenis tulisan apakah ini? Ya sudahlah, bagiku itu tidak penting. Yang penting, semoga tulisan bermanfaat, setidaknya untuk mengenang persahabatan.
Terakhir, penulis mohon maaf kepada
semuanya. Saran dan Kritik sangat penulis harapkan. Segala kebaikan dalam
tulisan ini datangnya dari Allah, dan semua keburukan dalam tulisan ini
datangnya dari kelemahan dan keterbatasan penulis sendiri. Thanks for reading.
Jazakallahuma kahiran katsiran.
yusrikombih@gmail.com
0 komentar:
Post a Comment